Selasa, 08 Mei 2012


Memajukan Pendidikan di Daerah Tertinggal, Surya Institute Contohnya

          Sudah banyak kader ilmuwan yang dicetak oleh Surya Institute. Banyak dari mereka berasal dari daerah-daerah terpencil di pelosok Nusantara. Dari tahun 1993 hingga 2007 siswa-siswa binaannya telah berhasil mengha“Ada pelajar Papua yang pernah memenangkan First Step to Nobel Prize. Pelajar Papua tersebut menempuh pendidikan di universitas di Amerika Serikat. Kini dia sudah kembali ke Indonesia. Bahkan, pernah bekerja di tanah kelahirannya, Papua” kata Prof. Yohanes Surya Pendiri lembaga ini ketika menerima kunjungan Duta Besar AS dan beberapa Bupati dari Papua dan perwakilan dari Provinsi Papua medio Februari lalu di kampus Surya Instite Serpong.
Matematika GASING
               Sejak 2000, Yohanes Surya banyak mengadakan pelatihan untuk guru-guru Fisika dan Matematika di hampir semua kota besar di Indonesia, di ibukota kabupaten/kotamadya, sampai ke desa-desa dari Sabang hingga Merauke, termasuk pesantren-pesantren.
Sejak tahun 2009 Prof. Yohanes Surya bekerjasama dengan pemda daerah-daerah tertinggal mengembangkan matematika GASING (Gampang Asyik dan menyenangkan), dimana anak-anak daerah tertinggal itu dapat belajar matematika dengan mudah. Siswa yang dianggap “bodoh” ternyata mampu menguasai matematika kelas 1-6 SD dalam waktu hanya 6 bulan. Program ini sekarang sedang diimplementasikan diberbagai daerah tertinggal terutama di Papua.
            Program ini kemudian dikembangkan kepada beberapa kelompok seperti Gipika (Gerakan Ibu-Ibu Pandai Matematika). Bukan hanya ibu-ibu rumah tangga yang mengikuti program ini tapi juga karyawan bahkan sarjana S1 pun mengikutinya. Selain Gipika, terdapat juga kelompok guru-guru. Kelompok ketiga adalah kelompok prototype. Kelompok ini adalah kelompok anak-anak Papua yang dipilih dari yang paling mampu matematika sampai yang tidak mampu sekalipun. Materi SMP dan SMA bahkan dibagikan dalam satu semester dengan cara yang asyik.

Menjaring Prestasi Anak Papua

Prof Yohanes Surya terus mencari anak-anak di beberapa daerah terpencil di Indonesia yang buta Matematika. Antara lain dengan mendatangi salah satu daerah terpencil di Papua, yaitu Tolikara. Di daerah tersebut Yohanes Surya memilih secara acak 27 anak Papua di beberapa sekolah dasar yang memiliki kemampuan kurang untuk dilatih Matematika. Ketika itu, Yohanes yakin, anak-anak Papua memiliki kemampuan tak kalah dengan anak-anak di kota-kota besar jika diberikan kesempatan yang sama.
“Selama bertahun-tahun mereka (anak Papua) sama sekali tak bisa menghitung 2+2 dan 3+2. Namun, sekarang tidak lebih dari satu tahun, mereka akan saya siapkan untuk menjadi juara olimpiade Matematika nanti,” ujar Prof Yohanes ketika itu. Ia menyakini bahwa bila metode pembelajaran diberikan dengan baik, anak-anak itu pun bisa menyerap pelajaran secara baik.

Prof Yohanes juga percaya anak-anak Papua memiliki kemampuan yang tidak kalah dari siswa di Jawa atau daerah lain di Indonesia yang lebih maju, asalkan diberi kesempatan yang sama. Tak hanya itu, mereka juga dibekali kemampuan bahasa Inggris dan kepribadian. Anak-anak Papua tersebut juga diberi pelajaran computer dan juga character building.

Untuk menjajaki kemampuan anak didiknya, akhir tahun lalu (November 2011) Prof Yohanes menggagas dan menggelar Asian Science and Mathematics Olympiad for Primary School (ASMOPS) di Jakartta. Olimpiade Matematika dan Sains untuk siswa SD se-Asia ini diikuti 131 peserta yang terdiri dari 87 siswa untuk bidang Matematika dan 44 peserta untuk bidang Sains. Peserta berasal dari Indonesia, Malaysia, dan Filipina.
Hasilnya, anak-anak SD Papua berhasil menorehkan prestasi mengagumkan. Mereka berhasil mempersembahkan 4 emas, 5 perak, dan 3 perunggu untuk Tim Indonesia. Peraih medali emas adalah Kristian Murib (Wamena), Merlin Kogoya (Tolikara), Kohoin Marandey (Sorong Selatan), dan Ayu Rogi (Waropen). Medali perak disumbangkan oleh Syors Srefle (Sorong Selatan), Natalisa Dori (Waropen), Nikolaus Taote (Mimika), dan Emon Wakerwa (Tolikara). Sedangkan perunggu dipersembahkan oleh Alex Wanimbo (Lani Jaya), Boni Logo (Wamena), dan Ester Aifufu (Sorong Selatan).

Berkaca dari kehidupan anak-anak Papua yang dididik oleh Surya Institute ini, dan berkaitan dengan momentum Hari Pendidikan 2 Mei hari ini, kiranya Diknas tidak perlu malu untuk mencontohinya. Sesuatu yang baik tentu wajar untuk dibagikan, apalagi hal itu penting untuk mengembangkan generasi muda bangsa kita, agar ke depan negeri ini tidak tertinggal di bidang sciens dari negara-negara tetangga kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar